TUGAS
LAPORAN BACAAN
KEBUDAYAAN
SUNDA
Untuk
memenuhi salah satu tugas Kebudayaan Sunda
Dosen
pengampu : Dr. Elis Suryani, M.S
OLEH:
EMA
MARIAM
180910120037
JURUSAN
SASTRA ARAB FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS
PADJADJARAN
2015
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah kepada hamba-Nya agar senantiasa bersyukur
kepada-Nya. Shalawat dan salam semoga
tercurah selalu kepada Uswah teladan kita Nabi Muhammad Saw. kepada keluarganya,
sahabat-sahabatnya, tabi’in tabi’atnya, sampai kepada kita selaku umatnya
hingga hari akhir zaman aamiin ya Rabbal ‘alamiin. Alhamdulillah atas bimbingan
dosen yang bersangkutan, akhirnya penulis
dapat menyelesaikan tugas paper yang berjudul “KEBUDAYAAN SUNDA”
. Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kebudayaan
Sunda.
Tugas ini bukanlah karya yang sempurna
karena masih memiliki banyak kekurangan baik dalam hal isi maupun sistematika
dan teknik penulisannya. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun demi kesempurnaan tugas ini. Semoga tugas ini bisa
memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca. Aamiin.
Jatinangor, 27
Maret 2015
Penulis
Kebudayaan Sunda
Kebudayaan
sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Segala sesuatu yang terdapat dalam
masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki masyarakat itu sendiri.
Kebudayaan juga mengandung keseluruhan pengertian nilai, norma, ilmu pengetahuan,
serta keseluruhan struktur sosial.
Para
ahli umumnya sepakat bahwa kebudayaan adalah perilaku dan penyesuaian diri
manusia berdasarkan hal-hal yang dipelajari/learning behavior. Sifat
kebudayaan itu bermacam-macam, tetapi karena semuanya adalah buah adab
(keluhuran budi), semua kebudayaan selalu bersifat tertib, indah, berfaedah,
luhur, memberi rasa damai, senang, bahagia, dan sebagainya. Sifat kebudayaan
menjadi tanda dan ukuran tentang rendah-tingginya keadaan suatu bangsa.
Seperti halnya kebudayaan yang ada di Sunda, banyak
sekali kebudayaan atau tradisi lama yang saat ini masih dipelajari dan
diaplikasikan ke dalam kehidupan orang-orang Sunda.
Sunda
dipertalikan pula secara erat dengan pengertian kebudayaan. Bahwa ada yang
dinamakan kebudayaan Sunda, yaitu kebudayaan yang hidup, tumbuh, dan berkembang
di kalangan orang Sunda yang pada umumnya berdomisili di Tanah Sunda.
Kebudayaan Sunda dalam tata kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia
digolongkan ke dalam kebudayaan daerah (Lihat: UUD 1945, terutama penjelasan
pasal 32 dan pasal 36) dan ada yang menamai kebudayaan suku bangsa, untuk
membedakan dengan kebudayaan nasional. Di samping memiliki persamaan-persamaan
dengan kebudayaan lain di Indonesia, kebudayaan Sunda memiliki ciri-ciri khas tersendiri
yang membedakan dari kebudayaan-kebudayaan lain.
Seperti
halnya yang telah dibahas dalam buku karangan H.Hasan Mustapa yang berjudul
“Adat Istiadat SUNDA”, dalam bukunya dikatakan bahwa terdapat beberapa adat
istiadat di Sunda yang memang sudah diyakini dan dilakukan sejak zaman nenek
moyang mereka. Berikut ini merupakan adat istiadat yang ada di Sunda menurut
buku tersebut :
1. Adat
pengajaran
Maksudnya adalah menceritakan adat pengajaran yang
sudah menjadi ketentuan pendidik dan anak didik yang menerima pengajaran
tersebut. Lama-kelamaan anak didik tidak bisa melanggar lagi. Kalau sengaja
melanggarnya, akan disebut tidak lumrah, tidak sesuai dengan orang banyak
misalnya di Sunda ada istilah “pamali”. Istilah pamali jarang ada
orang yang bisa menerangkannya, apalagi sesudah menjadi bahasa Jawa papali padahal
kata asalnya adalah mali yang dalam bahasa Sunda artinya adalah bali,
dipergunakan dalam arti balik dan malik (berbalik). Malah
dongengnya ketika ketika penulis berada di tanah Jawa, penulis bertanya “apa
artinya pamali”, banyak penghulu yang menjawab artinya adalah “haram”
atau tidak diperbolehkan. Dan dalam bahasa sunda ada pengajaran “tata-titi,
surti, ati-ati (tatakrama, bijaksana,hati-hati)” yang artinya seorang
pembesar harus berbudi luhur dan menggerakan rakyatnya yang kecil.
2. Adat
orang ngidam
Adat ini merupakan kebiasaan yang sudah tetap, dan
selamanya menjadi tanggung jawab orang tua yang mengurusnya yaitu : melahirkan,
khitanan, mengawinkan dan kematian, besar maupun kecil tentu menurut adat kebiasaan dari leluhurnya.
Pertama
pasal ini menceritakan tentang perempuan yang mulai berhenti menstruasi, pada
saat itu disebut nyiram ‘ngidam’. Dan biasanya perempuan yang baru akan
mempunyai anak itu nafsunya besar, dan mempunyai sikap yang tiba-tiba marah,
benci dan jijik terhadap sesuatu. Dan dalam adat Sunda terdapat beberapa
keharusan serta larangan yang harus dikerjakan atau dihindari oleh perempuan
hamil, seperti misalnya perempuan hamil tidak boleh melihat sesuatu yang
menjijikan, misalnya binatang yang jelek rupanya seperti monyet, lutung dan
sebangsanya. Begitupun tidak boleh melihat orang yang cacat, atau menakutkan,
seperti menengok orang yang sakit, yang meniggal dan pergi ke kuburan. Dan
sebaliknya perempuan hamil disuruh melihat hal-hal yang baik, cantik, rupawan,
malah bekas makannya pun harus diambil. Kalau bertemu anak yang cantik atau
tampan, makan anak tersebut harus diludahi pundaknya . dan semua perintah itu
harus ditaati karena takut adanya sesuatu buruk yang akan terjadi.
3. Adat
menjaga orang hamil
Di Sunda ada adat menjaga perempuan hamil sampai
berumur tiga bulan disebutnya “ngidam”, kemudian kalau sudah lewat tiga
bulan baru disebut hamil atau mengandung. Pantangan-pantangan yang harus dibaca
semakin bertambah terutama pada perempuan yang hamil pertama dan orang tuanya
mampu.
Kalau
hamilnya sudah sampai tujuh bulan, harus bersiap-siap untuk mengadakan sedekah,
selamatan tingkeban yaitu selamatan yang lebih besar dari
selamatan-selamatan tiap bulan yang cukup dengan bubur merah dan bubur putih
dan pelita sedikit.
Untuk
menentukan waktunya, yaitu dengan cara menghitung tanggal yang ada angka tujuh,
biasanya diambil akhir bulan yaitu tanggal 27, serta menyediakan makanan unutk
sedekah. Macam-macam lalab misalnya: ketimun, waluh, macam-macam kacang,
macam-macam ikan, dan telur. Akan tetapi, dipantang untuk makanan yang berasal
dari binatang yang disembelih, seperti ayam, biri-biri dan kerbau. Lalu
perempuan hamil itu diguyuri air kembang oleh orang-orang tua, masing-masing
tiga gayung disertai do’a nurbuat atau do’a selamat. Lalu perempuan hamil itu
menyediakan rujak untuk dijual oleh orang hamil kepada anak-anak, uangnya
dengan beling atau pecahan genteng.
4. Adat
Khitanan
Dalam islam khitanan itu adalah wajib hukumnya
terutama bagi anak yang sudah ada kemauan dan dan telah mempunyai kepandaian
serta misalnya khatam Al-Quran, maka sudah kewajiban bagi orang tuanya agar
anaknya di khitan. Malah apabila otu orang miskin, tidak mampu atau anak yatim
piatu, maka orang yang megurusnyalah yang menanggung kewajiban itu. Kadang ada
orang tua yang ingin menghitan anaknya tiga sekaligus, tapi ada , pantangan
tidak boleh menghitan tiga anak sekaligus (nungku). Akibatnya akan saling
mengalahkan, kecuali kalau empat orang. Oleh karena itu harus mencari temannya
lagi, biasanya anak yatim atau anak miskin, agar bilangannya menjadi genap.
Lalu anak itu dibawa ke tempat menghitan oleh orang tuanya lalu didudukan
diatas dulang dan lalu di khitan.
5. Adat
Pernikahan
Adat ini adalah adat yang lebih kuat dari adat
lainnya, laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa apalagi bujang dengan
perawan apabila akan bercampur harus ada perkawinan terlebih dahulu, begitupun
duda atau janda. Kalau perempuan akan ada bahasa “tidak mau dipermainkan
sebelum pergi ke bale nyungcung (mesjid tempat mengawinkan)”. Dalam adat
sunda ada kebiasaan orang yang dikawinkan, ibu jari kiri dan kanan dipegang
oleh orang yang mengawinkan, sehingga menjadi perkataan perempuan kalau hamil
tidak akan susah mencari ayahnya. Sehingga karena kuatnya adat, orang akan
mengetahui teman-temannya yang sudah menikah atau belum.
Setelah
itu dalam adat perkawinan di Sunda ada kebiasaan ngayeuk seureuh, dan upacara
sawer panganten, yaitu kedua pengantin duduk berdampingan membelakangi
orang-orang yang bersiap untuk “paboro-boro duit sawer” atau siapa yang cepat
ia yang akan mendapatkan uang receh dari saweran tersebut, dan biasanya dalam
satu wadah yang akan disawerkan itu berisi beras, permen, uang recehan dan uang
kertas. Namun adat tersebut tidak diwajibkan dan boleh tidak dikerjakan untuk
orang yang tidak mampu atau tidak mempercayai lagi adat tersebut, seiring
berkembangnya pendidikan.
6. Adat
mengenai sesuatu yang ditakuti manusia
Dalam adat ini orang yang mempunyai penyakit namun
tidak ketahui sebab-sebabnya, biasanya orang tersebut akan langsung meminta
pertolongan kepada tukang jampi, atau dukun yang sudah termasyhur jampinya
paten, maksudnya betul-betul tercapai. Syarat yang diminta untuk orang yang
akan dijampi-jampi yaitu dia harus membawa kendi berisi air mentah dan sirih
selengkapnya kira-kira harga lima sen atau seketip, kemenyan kira-kira harga
satu sen atau segobang. Orang yang akan diminta berkahnya atau doanya yaitu
yang pandai mengaji, cukup dengan membawa air. Lalu orang yang akan dijampi itu
diguyur dengan air oleh tukang jampi sampai tujuh atau delapan kali.
7. Adat
kematian
Dalam adat ini orang yang telah meninggal atau
disebutnya mayat, ia akan dipindahkan jasadnya ke tempat yang ditilami dengan
sehelai tikar atau biasa juga diletakkan diatas bangku, tidak memakai bantal,
kepalanya diletakkan ke arah timur, dan kakinya ke barat. Tangannya dibetulkan
seperti yang sedang takbirataul ihram lalu ditutup dengan kain panjang. Pada
perutnya dihimpit dengan sesuatu yang agak berat. Dan menurut nasihat kiyai
dengan sebuah Al-Qur’an. Di tempat mayat itu disediakan tempat membakar
kemenyan yang sudah dinyalakan dan dibubuhi kemenyan, asapnya mengepul bau
kemenyan atau setanggi. Di samping mayat itu dibentangkan tikar untuk tempat
duduk orang yang melayat.
Lalu
diatas kuburannya diantara kedua nisan ditaburi cendana, macam-macam bunga
sampai untaian bunga.
Selain
itu masih banyak lagi adat istiadat Sunda yang saat ini masih dilakukan orang
oleh orang Sunda. Seperti adat waktu-waktu yang dimuliakan dan adat petani di
priangan.
Begitulah
adat-adat di Sunda yang terkadang tidak masuk akal namun harus dipatuhi karena
itu merupakan adat dari leluhur yang masih diyakini oleh orang tua sekarang.
Karena kadang-kadang apa yang dilarang oleh orang tua tapi dilanggar, terkadang
ada terjadi.
Contoh Kebudayaan Sunda di Daerah
Banjaran
Dalam
kebudayaan Sunda masih banyak lagi hal-hal yang berupa adat pengajaran atau
larangan-larangan untuk tidak melakukan sesuatu, contohnya di daerah saya yaitu
di Banjaran. Di Banjaran masih berlaku adat atau kebiasaan yang masih diyakini
masyarakat atas kemadaratannya jika melanggar atau tidak melaksanakannya,
misalnya orang tua saya sering berkata
“Tong kaluar sareupna, pamali” yang artinya dilarang untuk keluar ketika
waktu magrib. Atau contoh lain yaitu ibu saya mengatakan bahwa seorang
laki-laki tidak diperbolehkan masuk ke “goah”
atau ruangan khusus untuk menyimpan beras dan “kukusan”. Selain itu masih banyak contoh larangan atau pantrangan
orang tua yang memang berkaitan dengan kebudayaan dan adat di Sunda khususnya
di Banjaran. Contoh lain seperti tidak boleh duduk di depan pintu karena ada
istilah “Bisi nongtot jodo”, lalu tidak boleh/pamali menyapu ke luar rumah atau menyisir rambut ketika malam hari
karena katanya sama dengan menyapu atau menyisir rezeki.
Selain
itu, ketika akan melaksanakan pernikahan seorang anak perempuan, orang tua saya
selalu menanyakan kepada orang yang berpengalaman/sesepuh dalam menentukan hari
dan tanggal yang cocok untuk melaksanakan pernikahan, dan ketika pelaksanaan
pernikahan, saya dan keluarga dilarang untuk mandi selama satu hari itu,
teutama pengantin, karena alasan supaya tidak turun hujan. Pelaksanaan pernikahan
di Banjaran masih melakukan adat atau tradisi lama Sunda seperti “nyawer”,
“nincak endog”, “meupeuskeun kendi”, “masang samping kebat di lawang panto” dan
lain sebagainya. Masih banyak hal lain tentang kebudayaan Sunda dan
adat/tradisi Sunda yang masih berlaku di daerah saya, meskipun adapula yang
kini melakukan pernikahan yang modern.
Meskipun
demikian banyak adat dan larangannya, saya tidak pernah diberitahu oleh orang
tua saya tentang filosofi dari semua adat-adat tersebut, terutama tentang
larangan-larangan yang berkaitan dengan adat istiadat yang sering membuahkan
pertanyaan dalam diri saya “naha pamali? kunaon alasanna?” namun orang tua
tidak pernah memberi jawaban yang saya inginkan, selain jawaban “pokokna mah
lamun disebut pamali, berarti ulah dilakukeun” yang artinya “ kalau kata orang
tua dilarang, berarti tidak boleh dilakukan”.
Dan
walaupun demikian, saya selalu menuruti apa perkataan orang tua saya sebagai
bentuk hormat kepada orang tua dan saya anggap itu sebagai kasih sayang orang
tua yang tidak ingin terjadi hal-hal tidak diinginkan, karena saya tahu, orang
tua saya lebih dulu hidup di dunia ini yang jelas lebih banyak pengalamannya
daripada saya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ekadjati, Edi S.
Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Pustaka jaya.
Ramdani, Wahyu. 2008. Ilmu
Budaya Dasar. Pustaka Setia: Bandung.
Mustapa, H.Hasan. 2010.
Adat Istiadat SUNDA. PT. Alumni. Jl.Bukit Pakar Timur.
Semoga bermanfaat :)
BalasHapus